Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.
Sejarah Gerakan Non-Blok - Pilar Moderat Ke-Indonesian
Selasa, 14 Januari 2025 13:05 WIB
Keberpihakan Indonesia terhadap Gerakan Non-Blok (GNB) merupakan salah satu pilar penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia sejak awal kemerdekaannya. Berikut adalah uraian mengenai keberpihakan Indonesia terhadap Non-Blok.
Oleh : A.W. Al-faiz
Keberpihakan Indonesia terhadap Gerakan Non-Blok (GNB) - Pilar Moderat Ke-Indonesian.
Keberpihakan Indonesia terhadap Gerakan Non-Blok (GNB) merupakan salah satu pilar penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia sejak awal kemerdekaannya. Strategi ini dapat dipandang sebagai bagian integral dari upaya modernisasi negara-negara yang baru merdeka dan sedang berkembang. Dalam konteks pasca-kolonial, GNB menawarkan platform bagi negara-negara seperti Indonesia untuk menegaskan kedaulatan dan membangun identitas nasional mereka di panggung internasional (Acharya, 2016).
GNB memungkinkan negara-negara anggotanya untuk berpartisipasi aktif dalam politik global tanpa harus beraliansi dengan blok Barat atau Timur selama era Perang Dingin. Hal ini mencerminkan aspirasi untuk mengembangkan sistem politik yang mandiri dan modern, terlepas dari pengaruh langsung kekuatan-kekuatan besar (Alden et al., 2010). Melalui GNB, Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya dapat menyuarakan kebutuhan pembangunan ekonomi mereka di forum internasional, sekaligus mendorong kerjasama ekonomi Selatan-Selatan sebagai alternatif dari model pembangunan yang didominasi negara maju (Prashad, 2007).
Partisipasi dalam GNB juga berperan penting dalam modernisasi kapasitas diplomasi negara-negara anggota. Forum ini menjadi ajang pembelajaran dalam negosiasi internasional dan manajemen hubungan multilateral, memungkinkan negara-negara seperti Indonesia untuk mengembangkan soft power mereka di kancah global (Chong, 2007). Selain itu, GNB menjadi wadah untuk berbagi pengetahuan dan teknologi di antara negara-negara berkembang, sejalan dengan aspirasi untuk mengejar kemandirian teknologi dan ilmiah (Mišković, 2014).
Dari perspektif identitas, bergabung dengan GNB membantu negara-negara anggota, termasuk Indonesia, membangun narasi baru tentang diri mereka sebagai negara modern yang mandiri. Ini menjadi bagian dari proses dekolonisasi mental dan pembentukan identitas nasional yang baru pasca-kemerdekaan (Shimazu, 2014). GNB juga aktif dalam upaya reformasi hukum internasional untuk lebih mencerminkan kepentingan negara berkembang, termasuk advokasi untuk Tata Ekonomi Dunia Baru (NIEO) pada tahun 1970-an (Anghie, 2004).
Dalam konteks Indonesia, keberpihakan terhadap GNB sejalan dengan visi modernisasi negara yang diusung oleh para pendiri bangsa. Strategi ini memungkinkan Indonesia untuk membangun citra sebagai negara modern yang mandiri, aktif dalam politik internasional, namun tetap mempertahankan identitas dan kepentingan nasionalnya (Weinstein, 2007). Penting untuk dicatat bahwa konsep "modernitas" dalam konteks GNB sering diartikan sebagai kemampuan untuk berdiri setara dengan negara-negara maju, sambil mempertahankan nilai-nilai dan identitas sendiri (Tan & Acharya, 2008).
Dengan demikian, keberpihakan Indonesia terhadap GNB dapat dilihat sebagai strategi multidimensi yang mencakup aspek politik, ekonomi, diplomasi, dan kultural dalam upaya modernisasi negara. Strategi ini tidak hanya relevan pada masa lalu, tetapi terus mempengaruhi posisi Indonesia dalam tata kelola global kontemporer.
Sejarah Gerakan Non-Blok.
Gerakan Non-Blok (GNB) merupakan salah satu fenomena paling signifikan dalam sejarah hubungan internasional pasca Perang Dunia II. Lahir dari semangat Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955, GNB menjadi suara kolektif bagi negara-negara yang baru merdeka dan negara berkembang yang berusaha mempertahankan kedaulatan mereka di tengah polarisasi Perang Dingin (Tassin, 2006). Konferensi Bandung ini meletakkan dasar-dasar prinsip yang kemudian menjadi inti dari filosofi GNB, termasuk penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa, non-intervensi dalam urusan internal negara lain, dan promosi kepentingan bersama serta kerja sama (Acharya, 2016).
Formalisasi GNB terjadi pada Konferensi Beograd tahun 1961, yang dihadiri oleh 25 negara dan diprakarsai oleh tokoh-tokoh berpengaruh seperti Josip Broz Tito dari Yugoslavia, Soekarno dari Indonesia, Gamal Abdel Nasser dari Mesir, Jawaharlal Nehru dari India, dan Kwame Nkrumah dari Ghana (Mišković, 2014). Konferensi ini menandai kelahiran resmi GNB sebagai gerakan politik internasional yang bertujuan untuk menjaga independensi dari blok-blok kekuatan besar dan mempromosikan kepentingan negara-negara anggotanya dalam arena global.
Selama era Perang Dingin, GNB memainkan peran krusial dalam menyediakan platform bagi negara-negara anggotanya untuk menyuarakan keprihatinan mereka tentang isu-isu seperti dekolonisasi, pembangunan ekonomi, dan perdamaian dunia. Gerakan ini juga aktif dalam upaya menentang apartheid di Afrika Selatan dan mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina (Dinkel, 2018). Meskipun sering dikritik karena kurangnya kohesi dan efektivitas, GNB berhasil mempengaruhi agenda internasional dan memberikan suara kepada negara-negara yang sebelumnya terpinggirkan dalam politik global.
Pasca berakhirnya Perang Dingin, GNB menghadapi tantangan baru dalam mendefinisikan kembali peran dan relevansinya. Dengan hilangnya konteks bipolar yang menjadi latar belakang pembentukannya, gerakan ini beralih fokus pada isu-isu kontemporer seperti globalisasi, pembangunan berkelanjutan, dan reformasi tata kelola global (Morphet, 2004). GNB terus mengadakan konferensi tingkat tinggi secara reguler, dengan konferensi terakhir (ke-18) diadakan di Baku, Azerbaijan pada tahun 2019, yang menekankan pentingnya multilateralisme dan kerja sama Selatan-Selatan dalam menghadapi tantangan global (NAM, 2019).
Meskipun relevansinya sering dipertanyakan di era pasca-Perang Dingin, GNB tetap menjadi forum penting bagi negara-negara berkembang untuk berkolaborasi dan memperjuangkan kepentingan bersama di panggung internasional. Gerakan ini terus beradaptasi dengan lanskap geopolitik yang berubah, fokus pada isu-isu seperti reformasi PBB, perubahan iklim, dan keamanan pangan. Dalam konteks multipolar kontemporer, GNB memiliki potensi untuk memainkan peran penting dalam mempromosikan dialog dan kerja sama internasional, serta menjembatani kesenjangan antara negara maju dan berkembang (Willets, 2018).
Keberadaan GNB dalam sistem internasional kontemporer terus menjadi subjek perdebatan akademis. Beberapa sarjana berpendapat bahwa gerakan ini telah kehilangan relevansinya dan gagal beradaptasi dengan realitas geopolitik baru (Jazić, 2005). Namun, yang lain menekankan bahwa GNB masih memiliki peran penting dalam menyuarakan kepentingan negara-negara Selatan Global dan mempromosikan agenda pembangunan yang lebih inklusif (Braveboy-Wagner, 2009).
Salah satu tantangan utama yang dihadapi GNB adalah menjaga kohesi internal di tengah keragaman kepentingan anggotanya. Dengan keanggotaan yang mencakup 120 negara dengan berbagai sistem politik dan tingkat pembangunan ekonomi, mencapai konsensus dalam isu-isu kunci seringkali menjadi tugas yang sulit (Morphet, 2004). Namun, keragaman ini juga bisa dilihat sebagai kekuatan, memberikan GNB perspektif unik dalam menangani masalah global.
Dalam beberapa tahun terakhir, GNB telah berusaha untuk merevitalisasi perannya dalam tata kelola global. Ini termasuk upaya untuk mereformasi sistem PBB, mempromosikan pembangunan berkelanjutan, dan mengatasi ketidaksetaraan global (NAM, 2019). Gerakan ini juga telah mengambil sikap terhadap isu-isu kontroversial seperti sanksi unilateral dan intervensi asing, konsisten dengan prinsip-prinsip pendiriannya.
Ke depan, relevansi dan efektivitas GNB akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan tantangan abad ke-21 sambil tetap setia pada prinsip-prinsip intinya. Ini mungkin melibatkan penguatan mekanisme kerja sama intra-GNB, mengembangkan posisi bersama yang lebih koheren tentang isu-isu global, dan meningkatkan keterlibatan dengan aktor non-negara dan organisasi masyarakat sipil (Braveboy-Wagner, 2009).
Kesimpulannya, Gerakan Non-Blok, meskipun menghadapi tantangan signifikan, tetap menjadi suara penting bagi negara-negara berkembang dalam politik global. Sejarahnya yang kaya dan prinsip-prinsip pendiriannya terus menawarkan landasan untuk kerja sama dan solidaritas di antara negara-negara Selatan Global. Dalam dunia yang semakin multipolar dan saling terhubung, GNB memiliki potensi untuk memainkan peran konstruktif dalam membentuk tata kelola global yang lebih adil dan inklusif.
KTT Non-Blok Asia.
Gerakan Non-Blok (GNB) telah memainkan peran penting dalam dinamika politik internasional, dengan negara-negara Asia menjadi kontributor signifikan sejak awal pembentukannya. Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955 sering dianggap sebagai titik awal gerakan ini, meletakkan dasar prinsip-prinsip yang kemudian diadopsi oleh GNB (Acharya, 2016). Negara-negara Asia seperti Indonesia, India, dan Myanmar termasuk di antara pendiri utama GNB, menegaskan komitmen mereka terhadap kebijakan luar negeri yang independen dan bebas dari pengaruh blok-blok kekuatan besar (Alden et al., 2010).
Sepanjang sejarahnya, GNB telah mengadakan beberapa Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di negara-negara Asia, termasuk di Indonesia pada tahun 1992 dan Malaysia pada tahun 2003. Pertemuan-pertemuan ini tidak hanya membahas isu-isu global, tetapi juga memberikan perhatian khusus pada tantangan yang dihadapi kawasan Asia, seperti dekolonisasi, konflik regional, dan pembangunan ekonomi (Morphet, 2004). Meskipun tidak ada KTT khusus yang disebut "KTT Non-Blok Asia", keterlibatan negara-negara Asia dalam GNB telah membentuk agenda dan arah gerakan ini secara signifikan.
Dalam konteks kontemporer, peran Asia dalam GNB terus berkembang, mencerminkan perubahan lanskap geopolitik dan ekonomi global. Negara-negara Asia menghadapi tantangan untuk menyeimbangkan kepentingan nasional mereka dengan solidaritas GNB, sambil menangani isu-isu seperti terorisme, perubahan iklim, dan ketimpangan global (Willets, 2018). Selain itu, inisiatif regional Asia seperti ASEAN, dengan prinsip non-intervensinya, menunjukkan keselarasan dengan prinsip-prinsip GNB di tingkat regional (Acharya, 2014).
Ke depan, negara-negara Asia memiliki potensi untuk memimpin reformasi dan revitalisasi GNB. Dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan peningkatan pengaruh geopolitik, Asia dapat memainkan peran kunci dalam membentuk kembali GNB agar lebih relevan dalam menghadapi tantangan abad ke-21. Ini termasuk memperkuat kerja sama Selatan-Selatan, mendorong reformasi tata kelola global, dan menjembatani kepentingan regional dengan agenda global GNB (NAM, 2019).
Meskipun GNB menghadapi tantangan dalam era pasca-Perang Dingin, gerakan ini tetap menjadi forum penting bagi negara-negara berkembang, termasuk di Asia, untuk menyuarakan kepentingan mereka di panggung internasional. Dengan adaptasi terhadap isu-isu kontemporer dan penguatan kerja sama intra-regional, GNB dan peran Asia di dalamnya memiliki potensi untuk tetap relevan dan berpengaruh dalam politik global (Willets, 2018).
Keberpihakan Indonesia Terhadap Gerakan Non-Blok (GNB).
Keberpihakan Indonesia terhadap Gerakan Non-Blok (GNB) merupakan salah satu pilar penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia sejak awal kemerdekaannya. Berikut adalah uraian mengenai keberpihakan Indonesia terhadap Non-Blok.
Indonesia telah memainkan peran kunci dalam pembentukan dan perkembangan Gerakan Non-Blok sejak awal. Keterlibatan ini berakar pada prinsip politik luar negeri bebas aktif yang dicanangkan oleh Mohammad Hatta, yang menekankan pentingnya Indonesia untuk tidak memihak dalam persaingan blok Barat dan Timur selama Perang Dingin (Weinstein, 1976). Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955, yang diselenggarakan oleh Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno, menjadi cikal bakal terbentuknya GNB dan mencerminkan komitmen Indonesia terhadap prinsip-prinsip non-blok (Acharya, 2016).
Selama era Orde Baru, meskipun kebijakan luar negeri Indonesia lebih condong ke Barat, komitmen terhadap GNB tetap dipertahankan sebagai bagian dari strategi untuk menyeimbangkan hubungan internasional Indonesia. Hal ini terbukti dengan peran aktif Indonesia dalam berbagai konferensi GNB dan penyelenggaraan KTT GNB ke-10 di Jakarta pada tahun 1992 (Suryadinata, 1996).
Pasca reformasi, Indonesia terus mempertahankan keberpihakannya terhadap GNB sebagai forum penting bagi negara-negara berkembang. Indonesia aktif dalam mempromosikan reformasi GNB agar lebih relevan dalam menghadapi tantangan global kontemporer, seperti isu-isu keamanan non-tradisional, pembangunan berkelanjutan, dan tata kelola global yang lebih adil (Sukma, 2003).
Dalam konteks kebijakan luar negeri kontemporer Indonesia, GNB tetap dianggap sebagai platform strategis untuk memprojeksikan kepemimpinan Indonesia di kalangan negara berkembang dan memperkuat posisi tawarnya dalam forum-forum internasional. Indonesia sering menggunakan GNB sebagai sarana untuk membangun konsensus di antara negara-negara berkembang sebelum membawa isu-isu penting ke forum yang lebih luas seperti PBB (Anwar, 2010).
Keberpihakan Indonesia terhadap GNB juga tercermin dalam upayanya untuk menjembatani kepentingan negara-negara berkembang dengan negara-negara maju. Sebagai anggota G20, Indonesia sering mengangkat suara GNB dalam forum-forum ekonomi global, mendorong agenda pembangunan yang lebih inklusif dan berkeadilan (Hermawan et al., 2011).
Meskipun relevansi GNB sering dipertanyakan dalam era pasca-Perang Dingin, Indonesia tetap memandang gerakan ini sebagai instrumen penting dalam diplomasi multilateralnya. Indonesia terus berupaya merevitalisasi GNB agar dapat lebih efektif dalam menangani isu-isu global kontemporer, sambil tetap mempertahankan prinsip-prinsip dasarnya seperti solidaritas negara berkembang dan penentuan nasib sendiri (Wirajuda, 2014).
Referensi.
Acharya, A. (2016). Studying the Bandung conference from a Global IR perspective. Australian Journal of International Affairs, 70(4), 342-357.
Anwar, D. F. (2010). The impact of domestic and Asian regional changes on Indonesian foreign policy. Southeast Asian Affairs, 2010(1), 126
Referensi:
Acharya, A. (2014). Indonesia Matters: Asia's Emerging Democratic Power. World Scientific.
Acharya, A. (2016). Studying the Bandung conference from a Global IR perspective. Australian Journal of International Affairs, 70(4), 342-357.
Alden, C., Morphet, S., & Vieira, M. A. (2010). The South in World Politics. Palgrave Macmillan.
Morphet, S. (2004). Multilateralism and the Non-Aligned Movement: What Is the Global South Doing and Where Is It Going? Global Governance, 10(4), 517-537.
NAM (Non-Aligned Movement). (2019). Final Document of the 18th Summit of Heads of State and Government of the Non-Aligned Movement. Baku, Azerbaijan.
Willets, P. (2018). The Non-Aligned Movement: Origins, Development and Future Role in World Politics. Routledge.
Acharya, A. (2016). Studying the Bandung conference from a Global IR perspective. Australian Journal of International Affairs, 70(4), 342-357.
Braveboy-Wagner, J. A. (2009). Institutions of the Global South. Routledge.
Dinkel, J. (2018). The Non-Aligned Movement: Genesis, Organization and Politics (1927-1992). Brill.
Jazić, Ž. (2005). The Non-Aligned Movement yesterday and today – in the process of globalisation: Critical view. Croatian International Relations Review, 11(38/39), 59-66.
Mišković, N. (2014). The Non-Aligned Movement and the Cold War: Delhi - Bandung - Belgrade. Routledge.
Acharya, A. (2016). The End of American World Order. Polity.
Alden, C., Morphet, S., & Vieira, M. A. (2010). The South in World Politics. Palgrave Macmillan.
Anghie, A. (2004). Imperialism, Sovereignty and the Making of International Law. Cambridge University Press.
Chong, A. (2007). Foreign Policy in Global Information Space: Actualizing Soft Power. Palgrave Macmillan.
Mišković, N. (2014). The Non-Aligned Movement and the Cold War: Delhi - Bandung - Belgrade. Routledge.
Prashad, V. (2007). The Darker Nations: A People's History of the Third World. The New Press.
Shimazu, N. (2014). Diplomacy as Theatre: Staging the Bandung Conference of 1955. Modern Asian Studies, 48(1), 225-252.
Tan, S. S., & Acharya, A. (Eds.). (2008). Bandung Revisited: The Legacy of the 1955 Asian-African Conference for International Order. NUS Press.
Weinstein, F. B. (2007). Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Soeharto. Equinox Publishing.
Daftar referensi ini mencakup berbagai sumber yang relevan dengan topik keberpihakan Indonesia terhadap Gerakan Non-Blok dan implikasinya terhadap modernisasi negara. Referensi-referensi ini mencakup buku-buku akademik, artikel jurnal, dan karya-karya yang membahas sejarah diplomasi, politik internasional, dan perkembangan negara-negara pasca-kolonial.

Penulis Indonesiana
5 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler